Pagi ini baca quote di path “Jika setiap anak wajahnya terlihat berbeda, mengapa mereka harus punya kepintaran yang sama?”
Jeeeenggggggg!!!!!!!!!!
Buat aku, itu ngena banget. Dan self reminder banget.
Oh well, aku tau kok kalau semua anak itu berbeda. Kalau semua anak itu pasti punya satu sisi yang menjadi unggulannya, sementara untuk anak lain (mungkin) itu jadi kelemahannya. Aku tau kalau anak itu tidak boleh di banding-bandingkan. Aku tau semua (mungkin gak semua sih) teori yang serupa, yang intinya semua anak berbeda.
Tapi pada kenyataannya itu adalah hal yang sulit loh untuk di praktekan.
Ketika kita tau anak-anak lain (yang sebaya) udah bisa melakukan A, sedangkan anak kita belum. Gak bisa dibohongin kalau ada kekhawatiran dalam diri kita sebagai orang tua (atau cuma di aku aja ya?). Oke, khususnya aku, ada kekhawatiran dalam hati aku “kok anak aku belum bisa ya?” Walaupun sebenernya dalam hati yang terdalam aku yakin akan kemampuan anak aku, aku yakin memang belum saatnya dia bisa. Aku gak boleh menyamakan mereka. Tapiii ada juga ketakutan akan ketertinggalan diantara teman-teman sebayanya.
Ketika Anel TK aku udah memantapkan diri kalau TK adalah saatnya Anel untuk bermain, mengeksplor segala hal. Gak mau membebani Anel dengan berbagai les. Sampai ketika yangti (yang gak lain adalah my mommy) cerita kalau teman-temannya Anel mulai ikut les baca dan tulis. Awalnya aku tetep sama pendirian aku kalau belum saatnya anel ikut les seperti itu. Karena aku yakin pasti akan ada saatnya Anel bisa baca dan tulis kok.
Dihadapkan dengan realita dimana masuk SD ada tes masuk yang salah satunya adalah baca tulis, membuat aku berfikir ulang atas pendirian aku tadi. Walau pada kenyataannya tes masuk SD gak mutlak harus bisa baca tulis (yg pemikiran awal aku, kalau gak bisa baca tulis berarti gak di terima). Tes masuk yang dimaksud hanyalah untuk mengetahui seberapa jauh anak mengenal huruf. Tapi pemahaman dangkal aku saat itu, membuat aku (akhirnya) mendaftarkan Anel ikut les baca tulis. Pertimbangannya? Pertama, aku takut gak punya waktu untuk ngajarin Anel (cuma bisa di weekend). kedua, ketakutan aku kalau Anel akan tertinggal dari teman-temannya (padahal, teori tentang semua anak beda udah sangat banyak aku tahu). Ketiga, desakan yangti yang selalu cerita si A udah lancar loh. Yang sejujurnya buat aku kepikiran yang pada akhirnya menghapus semua teori-teori yang aku yakini.
Perkembangan di tempat les baca sangat bagus. Anel bisa mengikuti materi. Sudah mulai bisa membaca (sedikit). Tenang dong ya denger perkembangan Anel kaya gitu. Walaupun setiap aku tanya atau aku suruh belajar lagi sama aku ketika weekend, anaknya males-malesan. Oke aku gak mau memaksa. Dan sudah cukup tenang mendengar perkembangan dari hari ke hari di tempat les.
Sampai ketika TK B (yang berarti tahun depan sudah masuk SD), mulai banyak teman-temannya yang sudah lancar (lancar loh ya) membacanya. Sedangkan Anel belum lancar banget membacanya. Stress? Pastinya. Anaknya sih biasa aja. Emaknya yang stress. Karena seperti yang udah aku tulis di atas kalau pemikiran awal aku tentang tes masuk SD adalah harus bisa baca dan tulis. Anel mulai aku doktrin kalau mau SD, harus bisa baca dan tulis. Setiaaapp hari aku doktrin seperti itu (jahat ya aku? Hiks). Tanpa aku sadar, itu justru buat Anel tertekan. Setiap aku doktrin, ujungnya Anel pasti nangis. Papap juga udah selalu ngingetin kalau semakin di tekan, anak justru semakin stress dan ujungnya malah gak mau. Mulai sadar nih ya aku, stop doktrin apa-apa lagi. Tapi aku mulai beliin buku-buku belajar membaca yang eye catching.
Lama kelamaan justru Anel yang selalu ngajak aku belajar baca pake buku-buku yang aku beliin (mungkin doktrinnya mulai berpengaruh. Hahahaha). Kalau anaknya gak minta belajar, ak akan ajak belajar, tp kalau anaknya nolak ya aku gak mau maksa (ceritanya aku udah mulai sadar akan segala teori parenting yang sempet terhapus :p).
Ada kali tuh tujuh buku yang aku beli, termasuk buku cerita bergambar.
Bahagianya hati ini ketika yangti cerita kalau Anel pesat banget kemajuannya di tempat les. Udah di kasih buku cerita sama gurunya. Jadilah aku singkirkan buku-buku mengeja. Mulai aku sodorin buku cerita bergambar. Gak di sangka, Anel udah bisa baca buku ceritanya (ya walau belum lancar banget sih. Kadang masih di eja). Tapi ituuuuuuu …. Huaaaa aku bunda bahagia (oke, itu lebay).
Ya Allah rasanya bersalah banget sempet menekan Anel sedemikian rupa untuk bisa baca. Yang justru jadi semangat belajar ketika aku berhenti memberi tekanan-tekanan itu.
Jadi inget cerita seorang teman yang anaknya persis kaya Anel. Gak pernah mau di suruh belajar baca. Kalau di suruh belajar baca, banyak banget alasannya. Ya ngantuklah, ya apalah (persis sis kaya Anel). Sampai pada suatu saat, tiba-tiba anaknya baca koran.
Aku yakin kedepan pasti akan lebih banyak lagi tantangan-tantangan seperti ini. Tekanan-tekanan sebagai orang tua dimana satu sisi ingin menerapkan segambreng teori parenting yang di pelajari tapi di satu sisi ada hal-hal dimana orang tua gak mau anaknya ketinggalan.
Well, jadi orang tua itu pasti akan terus belajar kok. Jadi wajar aja kalau ada hal-hal yang pada kenyataannya bertentangan dengan berbagai teori-teori itu.
Jadi, harus lebih banyak lagi belajar tentang ilmu jadi orang tua. Bukan cuma teori- teori, tapi bagaimana aplikasinya dalam kehidupan. Ini nih yang susaaahhhh *mewek*
Efi Fitriyyah says
Wah Anel, suprising, ya. Jadi inget cerita temanku. Anaknya kalau disuruh belajar malah ga bisa. Pas dikasih tau nilai tesnya di sekolah, nilainya bagus-bagus, eh dengan cueknya dia bilang "Ga tau deh bu, kalau di sekolah aku mendadak bisa" 🙂
wian says
Ternyata memang setiap anak itu unik ya cara belajarnya. Dan bahkan kadang di luar nalar kita 🙂